Sabtu, 02 Februari 2013

Eksistensi santriwati dalam pesantren


Eksistensi santriwati dalam pesantren
Sesunguhnya laki–laki dan perempauan yang muslim , laki-laki dan perempuan yang sabar. Laki- laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya , laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah ,Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”(Q.s.An-Nisaa’:32)
Santriwati dan feminisme pesantren
Santriwati merupakan sebutan / panggilan yang di sandangkan bagi kaum perempuan yang belajar dan mencari keilmuan di pesantren, namun pengertianya sama dengan pemaknaan santri secara umum, ada istilah santri, santriwan atau kang santri sebutan bagi murid atau siswa pesantren laki-laki, dan santri wati  bagi perempuan, atau ada istilah  lain sebutan nyai bagi istri kiai dan  gus bagi putra kiai dan ning bagi putrid seorang kiai.
            Dari sebutan tersebut  muncul bias gender pada persepsi santri wati sebagai kaum hawa ataupun perempuan di pesantren yang ruang geraknya agak terbatasi oleh hokum tradisi pesantren di banding  santri  laki-laki. Hal ini secara nyata di tunjukan dalam  kehidupan sehari-hari pesantren yaitu kehususan bagi santriwati dalam kaitanya kebebasan tanda kutip.
        Apa yang sebenarnya terjadi sehingga perempuan di pesantren mendapatkan perlakuan husus, soal kebebasan terutama dalam ruang geraknya cukup di batasi, dengan norma dan hokum pesantren, yang muncul ahirnya opini perempuan di pesantren mengalami ketidak adilan,. Dan Secara umum, masyarakat memandang bahwa status santri bagi perempuan sama halnya ‘memenjarakan diri’. Kreativitas mereka terpangkas. Perempuan pesantren bakal kehilangan kebebasan beraktualisasi diri. Mereka selalu dihadapkan pada ragam peraturan pesantren yang cukup membelenggu. Mereka hidup tiada berdaya. Pemberdayaan perempuan pesantren lebih bertendensi pada pengembangan intelektualitas dan relijiusitas. Sedangkan kecerdasan emosionalitas-nya tidak terasah sebab dibangun jarak dengan realitas hidup bebas. Kemudian juga muncul wacana penjara suci, sebuah konotasi bagi lembaga pesantren yang mengekang santrinya dari dunia luar, terutama bagi perempuan yang mendapatkan tempat khusus yang lebih ketat dari penjara yang sebenarnya. Wacana atau asumsi ini sudah umum berkembang di massyarakat, sehingga pesantren seakan benar-benar sebagai penjara yang sesungguhnya dalam memperlakukan santrinya, akibatnya  minat generasi muda untuk memasuki pesantren menurun, terutama kaum perempuan.
            Konotasi lain yang lebih menakutkan lagi bahwa pesantren banyak di huni oleh beberapa orang bermasalah, seolah pesantren sebagai tempat pembuangan yang lebih keras dari pada penjara, yaitu nusa kambangan, karena banyak di antara santri dating ke pesantren oleh karena persoalan yang tidak mampu terseleseikan di keluarga dan masyarakat, para santri yang di pesantren sebagian hadir krena keterpaksaan yang di akibatkan perlakuan masyarakat yang menolak atas keberadaanya, karena kecacatan moral yang di lakukan calon santri tersebut, semisal anak muda ataupun seseorang yang melakukan tindakan yang amoral ataupun kejahatan di masyarakat, karena keluarga ataupun masyarakat tak mampu menyeleseikanya, di tambah lagi ketika berkaitan dengan anak didik yang masih berada di tingkat pelajar,dengan kebijakan yang mengecewakan ia harus di keluarkan dari sekolahanya, karena di anggap sebagai pencoreng  nama baik sekolahanya. Ketidak adilan ini terus berlanjut samapi hari ini, dan ketika hal tersebut memang nyata, maka tiada harapan lagi bagi perbaikan moral generasi saat ini, karena keputusan fatal telah di ambil baginya dan pupuslah harapanya.
Dan di sinilah pesantren dengan terbuka dan legawa menerima calon santri tersebut untuk di asuh dan di diknya,  coba kita bayangkan apa bila pesantren bersikap sama dengan lembaga pendidikan umum lainya, pertanggung jawaban pendidikan dan hak pendidikan bagi warga yang mengalami nasib sedemikian rupa tentulah pupus, dan berahir dengan sebutan kasar sampah masyarakat.
Apa yang melatar belakangi pesantren selalu terbuka bagi persoalan masyarakat, sehingga pesantren yang yang notabene sebagai lembaga keagamaan yang suci bisa meneriam hal demikian? Nah apakah pesantren akan memperlakukan perempuan yang ada di dalamnya dengan tidak adil? Sedang untuk membiarkan anak didik yang di anggap sampah masyarakatpun masih bisa dengan legawa dan penuh kasih.
Dari tujuan juga posisi pesantren yang di ungkapkan di bab sebelumnya sudah jelas bahwa pesantren merepukan institusi penmdidikan yang berbaur dengan masyarakat yang berkebudayaan, sehingga tanpa adanya batas hubungan pesantren dan masyarakat dalam masalah pendidikan dan bertanggung jawab untuk pembenahan moral di masyarakat, sehingga apapun yang menjadi persoalan masyarakat dengan sebaik mungkin pesantren menerima dan menyeleseikanya.
Lantas dasar apa sehingga perempuan di pesantren mendapatkan perlakuan khusus ? Ketika sisi lain di dalam pesantren seringkali dituding sebagai biang ketertindasan, ketidakadilan dan berbagai ketidaksetaraan dalam hubungannya antara laki-laki dan perempuan. Kritik tajam tersebut di tengarahi oleh hokum fiqih yang ada dengan melihat secara sederhana, di buktikan di pesantren terjadi ke tidakadilan terhadap perempuan,contohnya , perempuan dilarang menjadi imam dalam sholat, mengajar santri laki-laki dan tidak pernah ada terjadi perempuan memimpin sebuah pesantren atau biasa disebut sebagai lurah pondok yang lebih ironis belum ada perempuan yang diakui sebagai ulama yang mempunyai derajat untuk membahas yurisprudensi hukum Islam. Berbagai hal tersebut merupakn berbagai macam kritik yang ditujukan kepada pesantren sebagai lembaga pendidikan yang bernuansa patriarkhi.
Begitu banya persoalan bila memunculkan diskusi mengenai feminisme perempuan di pesantren, tudingan-tudingan yang telah muncul tersebut menjadi persoalan yang sangat penting untuk di jawab pesantren, kaitanya pengembangan potensi santri yang tidak di mungkin di bedakan dalam mentransfer keilmuan,  Lebih dari itu, kita semua melihat bahwa kehidupan masyarakat manusia sedang menuju pada tuntutan-tuntutan demokratisasi, keadilan, dan penegakan hak-hak asasi manusia. Semua tema mi meniscayakan adanya kesetaraan manusia. Dan semua ini merupakan nilai-nilai yang tetap diinginkan oleh kebudayaan manusia di segala tempat dan zaman. Tuhan juga tentu menghendaki semua nilai mi terwujud dalam kebudayaan manusia. Oleh sebab itu, nilai-nilai tersebut seharusnya menjadi landasan bagi semua kepentingan wacana-wacana kebudayaan, ekonomi, hukum dan politik. Dengan begitu, diharapkan nantinya dalam wacana-wacana ini tidak akan lagi ada pernyataan-pernyataan yang memberi peluang bagi terciptanya sistem kehidupan yang diskriminatif, subordinatif, memarjinalkan manusia, siapa pun orangnya dan apa pun jenis kelaminnya, laki-laki atau perempuan. Dalam hal ini, Nabi Muhammad Saw bersabda:
 
“Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan rupa kamu, tetapi melihat hati dan amal perbuatan kamu.” HR Muslim’
Sebab, yang paling utama di antara manusia adalah tingkat ketakwaannya kepada-Nya.
 
“Sesunggulmya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” QS al-Hujurat 13.
    Dari  ayat ini telah jelas-jelahs di fahami bagi kaum pesantren, dan di aktualisasikan dalam kehidupan pesantren, karena pada kenyataanya kedudukan insane-insan di pesantren tiada berbeda selain pangkat duniawi yang sementara di sandang,dan kemuliaan di sisi alloh adalah insane yang bertaqwa,dan beriman .

Merapatnya wacana gender ke pesantren
            Hal yang sangat menarik ketika wacana kesetaraan gender mampu merapat yang kemudian menembus dinding tebal pesantren yang di bentengi oleh kekuatan besar dari tradisi yang di perkuat oleh nuansa keilmuan klasik yang selama ini sangat kuat mengakar sehingga menjadikan pesantren kokh dan konsisten dalam kemurnian kajian keilmuanya dengan sebutan salafi, kekuatan salafi inil di perkuat oleh kharismatik kiai yang berada di garda depan sebagai penopang kekuatan luar yang akan mermasukinya, hingga arus apapun yang akan mampir ke pesantren harus berhadapan dengan sang kiai, sebagai penentu atas di terimanya hal baru ke pesantren. Sungguh hal yang tak terduga ahirnya sebuah gerakan yang lahir di barat ahirnya bisa sampai dan mampir ke dalamnya, sebuah gerakan yang di sebut feminism yang mengusung gerakan penyetaraan antara laki-laki dan perempuan, hal yang sangat kontras dengan idiologi pesantren yang di dalamnya  adalah hasil asimilasi dua budaya antara jawa dan islam yang ahirnya mernciptakan kebudayaan baru yang di sebut pesantren, yang secara tak terduga dua unsure kebudayaan tersebut hamper sama dalam memandang perempuan, yaitu cara pandang pesantren yang terkesan menempatkan perempuan ke posisi kedua setelah laki-laki  yang semula di anggap sebagai sebuah kewajaran dan me…………………..ahirnya tidak sengaja tersentuh oleh gerakan tersebut yang di masukan oleh beberap orang yang menginginkan adanya perubahan ataupun angin segar bagi perempuan di pesantren aleh beberapa alas an yang juga di perkuat oleh dalil al-qur’an yang tentu saja di sokong oleh tokoh feminism islam, tidak semua pesantren menerima hal baru itu, apa lagi membiarkanya masuk dengan mudah, untuk memasuki pesantren butuh waktu bertahun-tahun dengan sebuah tunggangan berupa program-program pemberdayaan pesantren yang tidak semuanya bisa mulus berjalan di pesantren, karena watak penghini pesantren yang memang pada dasarnya kokoh dan tidak mudah untuk jatuh hati pada hal baru yang datang.
            Ahirnya di buktikan “ Di banding seluruh program yang pernah masuk ke pesantren, tidak ada yang seberhasil program penyadaran keadilan gender ini. Kehadiran nya membantu penyelesaian problem yang dihadapi kelompok feminis nonagama dalam menyosialisasikan isu gender. Saat itu penolakan terhadap kelompok feminis besar sekali, dan kelompok feminis tidak berdaya menghadapi argumen agama. Program ini juga menolong pemerintahan Abdurrahman Wahid untuk mengarusutamaan gender. Pada 2000 Wahid mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) agar gender menjadi arus utama dalam seluruh rancangan pembangunan –dari perencanaan sampai pelaksanaan. Jadi minimal ada pedoman dan alokasi bujet. Perkembangan ini pantas membuat Islam Indonesia dikategorikan sebagai Islam paling progresif di seluruh negara Islam dalam hal percakapan soal gender. Ketika negara lain masih menyatakan tabu dengan gagasan ini, kita telah memamahnya dalam berbagai kajian keagamaan.”
Zaina Anwar, tokoh feminist terkemuka dari Malaysia dibuat heran dengan pesannya gagasan tentang kesetaraan gender dalam wacana Islam di Idonesia.  Kita tahu ini memang bukan pekerjaan satu dua orang dan satu dua tahun. Dibutuhkan waktu lebih dari 15 tahun gagasan ini bisa menyebar di masyarakat meskipun resistensi tetap saja ada.  adalah Ibu Khofifah dan Gus Dur (tahun 2000)  yang   ikut menentukan tersebarnya gagasan ini melalui policy Pengarus-Utamaan Gender. Salah satu elemen yang berperan besar dalam mengembangkan isu gender adalah LSM berbasis pesantren dan organisasi perempuan keagamaan seperti Fatayat dan Aisyiyah.  peran mereka adalah untuk menghadapi resistensi kelompok agama terhadap isu gender, atau sebaliknya meyakinkan kelompok feminist sekuler bahwa dalam agama ada mutiara yang memuliakan perempuan tak melulu menistakannya. Yang Melibatakan pesantren dan organisasi keagamaan dalam pembangunan tentu saja juga harus menyebut peran Gus Dur. Namun secara kelembagaan kita juga bisa mencatat peran Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dengan  program pengembangan masyarakat untuk kelompok Islam terutama pesantren. Mereka percaya bahwa bicara pembangunan dengan menyertakan akar rumput, pesantren tidak bisa ditinggalkan.
Mengiringi maraknya isu gender di era 80 yang dikembangkan para aktivis pembangunan dari haluan feminis sekuler dan liberal menghadapi problem resistensi. Pendeknya, bahkan aktivis lelaki yang getol teriak demokrasi pun ikutan menolak isu gender, minimal curiga. Pangkalnya karena mereka percaya relasi lelaki perempuan tak mungkin digugat mengingat domainnya di lingkup keluarga yang diangankan harminis. Ketidak setaraan merupakan keniscayaan dan tak selalu buruk. Jadi, meski gagasan kesetaraan gender sebenarnya sama belaka dengan menggugat dominasi dan hegemoni negara atau kelompok mayoritas, namun ketika diterapkan pada isu relasi gender gagasan itu mental. Dan basis penolakannay bersandar pada ajaran agama.  Lalu sejumlah aktivis perempuan yang mempunyai latar belakang keagamaan mulai memikirkan untuk masuk ke domain agama dan gender.  Namun di awal tahun 90-an itu tak terlalu mudah mencari landasan teologis dan referensinya. Pertama, kajian soal gender dan agama masih langka. Kedua, bendera organisasi yang bekerja untuk isu gender dan feminisme seperti Kalyanamitra dikenal sebagai organisasi feminist sekuler. Maka cukup masuk akal jika LSM berbasis pesantren menjadi wahana yang strategis untuk mengembangkan gagasan soal Islam dan gender. Dalam konteks itu kehadiran P3M memang relevan. 
Di P3M kami mulai dengan kesehatan reproduksi menggunakan perspektif gender dan Islam. Pilihan tema itu jelas berkaitan dengan trend intrenasional paska Konferensi Kependudukan di Kairo tahun 1995.  Program penerjemahan karya karya ahli tafsir moderen seperti karya Rifat Hassan Asghar Ali Engeener serta belakangan Aminah Wadud benar-benar membantu. Untuk itu peran Wardah Hafidz harus dicatat sebagai tonggak. Tonggak lainnya, tentu saja telah ditancapkan oleh sejumlah mahasiswa pasca sarjana UIN/IAIn yang secara khusus studi tentang isu gender dan Islam. Salah satunya tentu saja karya Dr Nasaruddin Umar. 
Dan Sekarang kita telah melihat perubahan itu. Dan perubahan itu nyata.  Misalnya dengan tuntutan quota 30% perempuan, kepemimpinan perempuan di ruang publik dan isu-isu sejenisnya. Terlepas dari mutunya, orang mau berdebat soal konsep gender. Dari kyai sampai hakim agama bicara isu ini. Tapi bukan berarti situasinya lebih baik. Sebab kita juga bergantung pada kemauan politik pemerintah plus aparatusnya. Memasukan perspektif keadilan gender dalam kebijakan di Indonesia sebenarnya akan sangat strategis. Minimal pemerintah bisa sensitif kepada kelompok minoritas lain yang selama ini dimarginalkan. Sensitifitas itu dapat membantu untuk memikirkan kelompok minoritas suku, ras, agama, kaum cacat fisik yang dimarginalkan. Mereka semua, seperti kaum perempuan, selama ini tak dihitung kepentingannya dan ditimbang cara pandangnya. Tak heran banyak hal menjadi salah urus dan salah sasaran. Kalau begitu berguna untuk kebaikan negeri ini, mengapa pula harus takut menerima gagasan untuk bersikap dan berlaku adil pada perempuan? [1]
Ulasan di atas merupakan sebuah kutipan dari penulis yang di ambil dari tulisan Lies Marcoes Natsir Di sebuaah artikel  http://islamlib.com/id/artikel/pesantren-dan-isu-gender, sekedar menjadi sebuah referensi perjalanan wacana gender yang merapat ke pesantren  berkat dari keseriusan kerja orang-orang yang mempunyai kesadaran kesetaraan gender. Para tokoh penggerak itu semisal Kyai Masdar, Lies Marcoes, Bu Sinta Nuriyah, Farcha Ciciek, dan adanya LSM-LSM seperti P3M, Rahima, Puan Amal Hayati. Mereka bekerja keras lebih dari sepuluh tahun, hampir lima belas tahun. Dan mereka keluar masuk pesantren, melakukan halaqah, pelatihan, tadarus, seminar di pesantren. Itu mempunyai pengaruh yang besar dalam mengubah pola pikir perempuan pesantren. hingga kemudian apapun pandangan terhadap proses panjang tersubut menuai pro dan kontra baik di maknai efek yang di timbulkanya atau manfaatnya, dari sini penulis tidak akan memperpanjang perdebatan persoalan tersebut, , yang past hari ini wacana gender telah masuk di beberapa pesantren  dan masih di kaji.
Dan pada hakikatnya pesantren yang selama ini berkembang berpuluh tahun lamanya berdiri di bumi nusantara ini tentunya mempunya dasar tradisi yang kuat dan kokoh bagaimana menempatkan perempuan atau santriwati di dalamnya, kendatipun di luar masih tetap saja memberikan tudingan akan ketidak adilan gendel di dalamnya, namun sudah pasti pesantren dengan dasr teologi kesantrianya yang akan kami ungkapkan sebagai jawaban dan pengokahanya berdasarkan  kemampuan penulis mengungkap fakta yang sebenarnya.
Feminisme Perempuan (santriwati) dalam pesantren
     Seperti halnya persoalan yang di kutip di atas mengenai keberadaan perempuan dalam pesantren, apa memang benar mengalami  hal demikian? Pada dasarnya tradisi pesantren yang menempatkan santriwati di khususkan ataupun di bedakan dengan santri putra sama sekali tidak bermaksud membedakan secatra nilai ataupun merendahkan martabat perempuan, dalam pesantren salaf, pengkajian terhadap teks kitab kuning  tidak serta merta di tafsirkan dengan mengkomsumsinya dengan mentah-mentah saja, namun di kaji secara mendalam, yang pada kenyataanya  apa yang ada di dalam teks tersebut di sesuaikan dengan kultur kebudayaan pesantren yang notabene kebudayaan islam,. Islam adalah agama yang membawa misi besar, yakni rahmatan lil ‘alamin (rahmatbagi seluruh alam semesta). Untuk menyebarkan rahmat bagi semua ini, Islam jugamembawa misi utama untuk terwujudnya kemaslahatan, keadilan, dan kebebasan. Semua aturan Islam, terutama yang tertuang dalam Alquran menjadi bukti akan hal tersebut.Kalaupun kemudian muncul banyak penafsiran yang menyimpang dari misi-misi tersebut, hal ini karena adanya penafsiran terhadap Alquran yang didasari oleh konteks sosial budaya yang melingkupi para penafsirnya, atau juga karena pemahaman yang literal terhadap teks-teks hadis Nabi Muhammad Saw
            istilah feminism  berasal dari bahasa latin (femina=women) , yang berarti memiliki sifatt-sifat wanitakata ini di pergunakan untuk menunjukan kepada suatu teori persamaan kelamin(sexual equality)

Berbicara feminism dalam pandangan islam, tidak di pungkiri kemunculan ya adalah sebuah gerakan di barat yang ahirnya berpengaruh juga terhadap dunia, timur termasuk Negara-negara berpenduduk muslim yang secara garis besar menganut sisitem patriarki. Sehingga tidak mengherankan jika  dari islam sendiri kemudian lahir para feminis muslim yang mempunyai perhatian terhadap kondisi masyarakat islam terutama yang menyangkut nasib kaum perempuan.....tobe continueddd...........semoga bermanfaat..........




0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates